Raja Pajajaran yaitu Prabu Siliwangi mempunyai anak sebanyak 40 dari
ibunda Dewi Nawangsih (istri ke 3). Anak ke 40 tersebut namanya Prabu
Guru Gantangan, tetapi cacat di tangan (bengkok)/ kengkong. Pada suatu
waktu di Keraton Kerajaan Pajajaran diadakan pertunjukan tari/ ngibing
diantara keluarga kerajaan, diantara keluarga di keluarga diketahui oleh
Prabu Siliwangi bahwa Prabu Guru Gantangan dalam keadaan cacat fisik.
Karena keadaan cacat fisik maka Prabu Siliwangi berpendapat bahwa dia
bukan putranya.
Hal tersebut disampaikan kepada salah seorang Patih Kerajaan Pajajaran, dan Prabu Guru Gantangan oleh Patih dilarang mengikuti pertunjukan menari. Prabu Guru Gantangan merasa sedih, karena itu ia terpaksa harus meninggalkan keraton dan kedua orang tuanya serta saudara-saudara yang dicintainya.
Pada malam itupun beliau meninggalan Keraton Pajajaran, menuju arah timur dengan harapan memohon kepada Yang Maha Agung, semoga kepergiannya mendapat petunjuk dan dipertemukan dengan orang-orang yang dapat menyembuhkan cacatnya itu.
Setelah beberapa lama perjalanan sampailah ia di suatu tempat yaitu Kadipaten Rancah yang dipimpin oleh Dalem Gayam Cengkok. Tepatnya di Leuweng Gede. Di sama belai bertamu dengan seorang emban (pembantu rumah tangga keraton) Dalem Rancah. Emban bertanya, “Kamu siapa?” dan Prabu Guru Gantangan menjawab, “Saya tidak punya nama!, saya tidak tahu darimana? Dan saya tidak punya orang tua, saya tidak ingat karena sudah lama di perjalanan”.
Emban merasa kasihan lalu Prabu Guru Gantangan dibawa menghadap ke Dalem Rancah. Dalem Rancah menerima dengan baik dalam keluarganya, kemudian setelah diberi makan, minum secukupnya seluruh pakaian yang compang camping diganti. Dalem Rancah mengetahui bahwa anak tersebut cacat salah satu tangannya.
Selama berada di Keraton Dalem Rancah, Prabu Guru Gantangan tidak pernah memberitahukan siapa beliau sebenarnya dan dari mana asalnya.
Karena anak tersebut cacat tangan kananya, maka Dalem Rancah memerintahkan agar anak tersebut bertapa di hulu Cirancah selama 12 bulan. Pada suatu waktu, di tempat itu kedatangan seekor Tupai Putih, lalu ia tangkap, secara kebetulah oleh tangan yang cacat. Maka terjadilah saling tarik menarik yang sama kuatnya, terjadilah mu’jizat, dimana tangan itu seketika menjadi lurus dan sembuh, sedangkan tupai putih tersebut pergi tanpa diketahui kemana?.
Dalem Rancah, Gayam Cengkong memerintahkan mengecek bagaimana anak itu. Ternyata keadaannya selamat bahkan tangannya yang kengkong sudah lurus. Kemudian dibawa untuk menghadap Dalem dan bercerita tentang kejadiannya. Mereka semua bersyukur dan bergembira. Berkat bisa menyembuhan seorang anak Dalem Rancah akhirnya beliau ditikahkan dengannya.
Beberapa waktu kemudian datanglah rombongan ustusan dari Kerajaan Pajajaran sebanyak 4 orang yang bernama : Purwakalih, Gelap Nyawang, Kidang Pananjung, Pangadegan, Aki Liman Jaya Sakti, Aki Jagadalu. Selain mencari keberadaan Prabu Guru Gantangan juga membawa pakaian selengkapnya, dan 7 ruas air untuk pengisian negeri bila Prabu Guru Gantangan tidak mau kembali.
Dengan seizin mertuanya Adipati Rancah, Prabu Guru Gantangan beserta istri danb 4 utusan dari Pajajaran pergi mencari tempat untuk dijadikan negeri. Perjalanan menuju selatan samapi ke pasir (bukit) Langu. Rombongan melanjutkan perjalanan sampai ke suatu tempat dan mereka berhenti sejenak, maka tempat tersebut terkenal dengan nama Dusun Randegan. Perjalanan dilanjutkan sampai ke suatu bukit rendah (Pasir Handap) semua berhenti dan musyawarah untuk sementara tempat tersebut cocok, maka segeralah dibuat bangunan, seperti Baliarung, alun-alun dan tidak lupa jalan dan lain sebagainya. Tidak lupa air 7 ruas dari Pajajaran dibawa dan disimpan dekat rumah tepatnya di Pasarean. Selanjutnya negeri baru itu oleh Prabu Guru Gantangan diberi nama Handapraja.
Lama kelamaan tempat itu kurang cocok, lokasinya kurang luas dan sedikit curam. Prabu Guru Gantangan pergi ke sebelah selatan, kemudian sampailah ke suatu bukit yang tepatnya mendatar cukup elok dan nyaman yaitu Bukit Samida. Kemudian Prabu Guru Gantangan pulang ke Handapraja, dan memberitahukan menemukan tempat yang cocok, maka segera pindah ke Bukit Samida, semua bangunan yang telah ada dipindahkan berikut 7 ruas air yang dibawa dari Pajajaran dan ditempatkan di tempat yang sekarang disebut Cibarani.
Hal tersebut disampaikan kepada salah seorang Patih Kerajaan Pajajaran, dan Prabu Guru Gantangan oleh Patih dilarang mengikuti pertunjukan menari. Prabu Guru Gantangan merasa sedih, karena itu ia terpaksa harus meninggalkan keraton dan kedua orang tuanya serta saudara-saudara yang dicintainya.
Pada malam itupun beliau meninggalan Keraton Pajajaran, menuju arah timur dengan harapan memohon kepada Yang Maha Agung, semoga kepergiannya mendapat petunjuk dan dipertemukan dengan orang-orang yang dapat menyembuhkan cacatnya itu.
Setelah beberapa lama perjalanan sampailah ia di suatu tempat yaitu Kadipaten Rancah yang dipimpin oleh Dalem Gayam Cengkok. Tepatnya di Leuweng Gede. Di sama belai bertamu dengan seorang emban (pembantu rumah tangga keraton) Dalem Rancah. Emban bertanya, “Kamu siapa?” dan Prabu Guru Gantangan menjawab, “Saya tidak punya nama!, saya tidak tahu darimana? Dan saya tidak punya orang tua, saya tidak ingat karena sudah lama di perjalanan”.
Emban merasa kasihan lalu Prabu Guru Gantangan dibawa menghadap ke Dalem Rancah. Dalem Rancah menerima dengan baik dalam keluarganya, kemudian setelah diberi makan, minum secukupnya seluruh pakaian yang compang camping diganti. Dalem Rancah mengetahui bahwa anak tersebut cacat salah satu tangannya.
Selama berada di Keraton Dalem Rancah, Prabu Guru Gantangan tidak pernah memberitahukan siapa beliau sebenarnya dan dari mana asalnya.
Karena anak tersebut cacat tangan kananya, maka Dalem Rancah memerintahkan agar anak tersebut bertapa di hulu Cirancah selama 12 bulan. Pada suatu waktu, di tempat itu kedatangan seekor Tupai Putih, lalu ia tangkap, secara kebetulah oleh tangan yang cacat. Maka terjadilah saling tarik menarik yang sama kuatnya, terjadilah mu’jizat, dimana tangan itu seketika menjadi lurus dan sembuh, sedangkan tupai putih tersebut pergi tanpa diketahui kemana?.
Dalem Rancah, Gayam Cengkong memerintahkan mengecek bagaimana anak itu. Ternyata keadaannya selamat bahkan tangannya yang kengkong sudah lurus. Kemudian dibawa untuk menghadap Dalem dan bercerita tentang kejadiannya. Mereka semua bersyukur dan bergembira. Berkat bisa menyembuhan seorang anak Dalem Rancah akhirnya beliau ditikahkan dengannya.
Beberapa waktu kemudian datanglah rombongan ustusan dari Kerajaan Pajajaran sebanyak 4 orang yang bernama : Purwakalih, Gelap Nyawang, Kidang Pananjung, Pangadegan, Aki Liman Jaya Sakti, Aki Jagadalu. Selain mencari keberadaan Prabu Guru Gantangan juga membawa pakaian selengkapnya, dan 7 ruas air untuk pengisian negeri bila Prabu Guru Gantangan tidak mau kembali.
Dengan seizin mertuanya Adipati Rancah, Prabu Guru Gantangan beserta istri danb 4 utusan dari Pajajaran pergi mencari tempat untuk dijadikan negeri. Perjalanan menuju selatan samapi ke pasir (bukit) Langu. Rombongan melanjutkan perjalanan sampai ke suatu tempat dan mereka berhenti sejenak, maka tempat tersebut terkenal dengan nama Dusun Randegan. Perjalanan dilanjutkan sampai ke suatu bukit rendah (Pasir Handap) semua berhenti dan musyawarah untuk sementara tempat tersebut cocok, maka segeralah dibuat bangunan, seperti Baliarung, alun-alun dan tidak lupa jalan dan lain sebagainya. Tidak lupa air 7 ruas dari Pajajaran dibawa dan disimpan dekat rumah tepatnya di Pasarean. Selanjutnya negeri baru itu oleh Prabu Guru Gantangan diberi nama Handapraja.
Lama kelamaan tempat itu kurang cocok, lokasinya kurang luas dan sedikit curam. Prabu Guru Gantangan pergi ke sebelah selatan, kemudian sampailah ke suatu bukit yang tepatnya mendatar cukup elok dan nyaman yaitu Bukit Samida. Kemudian Prabu Guru Gantangan pulang ke Handapraja, dan memberitahukan menemukan tempat yang cocok, maka segera pindah ke Bukit Samida, semua bangunan yang telah ada dipindahkan berikut 7 ruas air yang dibawa dari Pajajaran dan ditempatkan di tempat yang sekarang disebut Cibarani.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar